Allah SWT adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
September 14, 2006
MEnjaga Lisan
Mengapakah
pada saat-saat beribadah kepada Allah, kita sering tidak merasakan
kekhusyukan, apalagi sampai dapat menitikkan air mata, sehingga hampir
tidak pernah terasakan lagi lezat dan nikmatnya menghadap Allah?
Ternyata
semua itu berpangkal dari hati yang kesat dan kotor. Di dalam hati yang
demikian memang tak akan pernah bersemayam nuur (cahaya) iman yang sesungguhnya.
Akibat
lain dari memiliki hati yang busuk, kusam, kusut, dan kotor adalah
tidak akan pernah mampu kita melahirkan kalimat-kalimat lisan yang benar
dan bermutu. Tiap-tiap kalimat yang keluar dari lisan, kata Syeikh Ibnu
Atha’illah, pastilah membawa corak bentuk hati yang mengeluarkannya.
Betapa tidak? Hati itu bisa diibaratkan dengan teko. Teko hanya
mengeluarkan isinya. Bila ia berisi air kopi, maka yang keluarpun
pastilah air kopi. Demikian pula jika isinya air bening, maka yang
keluar pun pstilah air bening,
Terjadinya
lisan seseorang menghamburkan kata-kata kasar, menyakitkan, jorok, dan
sia-sia, semua itu, tidak bisa tidak, bersumber dari hati yang tidak
beres. Seseorang yang hatinya tidak selamat akan sangat sulit
mengendalikan lisannya. Apa saja yang terlihat di depan matanya niscaya
akan membuat lidahnya gatal untuk segera berkomentar, terlepas dari
komentarnya itu bermutu atau tidak, bermanfaat bagi dirinya atau tidak,
ada yang mendengarkan atau tidak. Jelas, tak akan pernah disadari bahwa
perkataaanya mungkin bisa sisa-sia.
Bahakan
tidak jarang pada akhirnya sang lisan jadi tergelincir ke dalam
perbuatan ghibah karena hanya gemar menyelisik kekurangan dan air orang
lain. Bilapun perkataannya didengar oleh orang yang dinilainya, maka
jadilah ia perkataan yang menganiaya dan menyakiti perasaannya. Bahkan
tidak jarang pula lebih meningkat lagi daripada itu, yakni fitnah!
Padahal, sungguh pandangan manusia itu amat terbatas untuk
menilai kebaikan atau keburukan seseorang.
Perkataan
yang kurang bermutu dan hampa maknsa bisa juga keluar dari lisan
seseorang yang didasari oleh hati yang tidak ikhlas. Ini bisa terjadi
pada siapa saja. Adalah ia seroang sahabat, guru, atasan, bahkan
mubaligh atau orang tua sekalipun. Mengapa ada seorang anak yang
habis-habisan dinasihati oleh orang tua atau gurunya, tetapi tetap saja
berkelakuan buruk? Jawabnya, mungkin karena mereka tidak menasihatinya
dengan hati yang benar-benar tulus semata-mata ingin membimbing sang
anak ke jalan yang benar. Mungkin nasihat itu keluar dari lisannya
seraya hatinya penuh diselimuti nafsu amarah.
Mengapa
pula seorang mubaligh telah habis-habisan berceramah menyampaikan
kebenaran, tetapi toh tak membekas sama sekali di hati para jamaahnya?
“kemungkinan yang demikian itu dari engku sendiri,” kata Muhammad bin
Wasi’, seorang ulama ahli ma’rifat. Sebab, kata Wasi’, bila nasihat itu
keluar dai hati yang ikhlas, pastilah masuk ke dalam hati. Sebaliknya
nasihat yang hanya berupa gubahan lidah dan reka-rekaan belaka, ia akan
masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sebagus apa pun
kata-kata yang terucap, bila keluar dari hati yang riya, sum’ah (sekedar mencari popularitas),
ujub, atau takabur, maka ia taka akan pernah
mampu menghunjam ke dalam lubuh hati pendengarnya.
Lidah
memang tak bertulang. Mengeluarkan kata-kata yang bagimanapun dari
lisan sungguh termat mudahnya. Akan tetapi, apa dampaknya dan bagaimana
akibatnya, itulah yang sering tidak terpikirkan. Sepatah kata yang
terucap sama sekali tidak akan membuat tubuh seseorang terluka, namun
siapa yang tahu kalau justru hatinya yang tersayat-sayat. Atau
sebaliknya, sepatah kata yang terucap, justru malah menjadi penyebab si
pengucapnya mendapat celaka ataupun selamat, baik ketika di dunia maupun
di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda, “setiap ucapan Bani Adam itu membahayakan dirinya (bukan
memberi manfaat), kecuali kata-kata berupa amar ma’ruf nahi munkar dan
Dzikrullah ‘Azza wa Jalla!” (HR Trimidzi)
Karenanya,
jangan heran kalau hanya disebabkan sepatah dua patah kata saja
yang terlontar dari mulut bisa terjadi perkelahian, dua orang saudara
bisa bermusuhan, bahkan membuat seseorang mendekam di balik terali besi.
Sebaliknya, tidak perlu heran pula bila berkat satu dua patah kata
seseorang bisa selamat dari malapetaka yang akan menimpanya.
Apalagi
balasan yang akan menimpa kita di akhirat kelak sebagai akibat
terpelihara atau tidaknya lisan. “Barang
siapa yang memelihara apa yang ada di antara janggutnya (yakni
lisannya) dan apa yang ada di antara kedua pahanya (yakni farjinya)
karena aku, “ sabda Rosulullah, “niscaya
akan kujamin dia masuk surga” (HR Bukhari). Sesungguhnyalah, “Yang paling banyak memasukkan manusia ke
dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan farji” (HR
Tirmidzi).
Dengan
demikian, hendaknya kita selalu berhati-hati dengan lisan. Setiap kata
yang hendak diucapkan hendaknya terlebih dahulu dipikirkan masak-masak.
Sekiranya kata-kata yang akan terucapkan itu tidak ada manfaatnya,
sebaiknya kita memilih diam. Rosulullah saw bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaknya ia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam” (HR
Bukhari Muslim)
Lidah,
tanda tenaga dan tanpa biaya bisa kita gerakkan setiap saat. Barang
siapa di antara kita terlampau banyak bicara, akan sangat cepat
mengeraskan hati. Orang yang paling beruntung di dunia ini adalah “fal yaqul khairan au liyashmut” –
orang yang sangat bisa memperhitungkan setiap kata-kataya. Barang siapa
yang berpiirnya lebih banyk daripada bicaranya, insyaAllah, kata-katanya akan membersihkan hati.
Hati
yang selamat, Subbanallah,
siapapun pasti merindukannya. Hati yang selamat tidak ahanya akan
menyelamatkannya di dunia, tetapi juga di yaumil hisab nanti. Yakni, “Yauma laa yanfa’u maalun walaa banuun, illaa man atallaaha bi
qalbin saliim” (QS Asy Syu’ara [26] : 88-89). Pada
hari ketika harta dan anak-anak tidak lagi bermanfaat, kecuali hati yang
selamat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar